Jumat, 27 September 2013

Tanpa Alasan

Tak tau mengapa.
Aku terus mencintainya.
Tak tau mengapa.
Aku terus mengharapkannya.

Sulit ku mencari alasannya.
Dan memang ku tak punya alasan.
Tuk tetap mencintainya.
Tuk tetap mengharapkannya.

Telah ku coba untuk melupakannya. Namun selalu saja teringat dirinya.
Telah ku coba pergi dari dirinya.
Namun selalu kembali dekat dengannya.

Cinta tanpa alasan.
Cinta tulus Dan suci.

3 Permintaan

Bila kamu diberi 3 buah permintaan yang langsung dikabulkan, maka sebutkan apa saja 3 permintaan yang kamu inginkan?

Bila berkenan silakan sebutkan 3 keinginan kamu di kolom komentar.
keinginan kamu mewakili tipe kepribadianmu.

Senin, 16 September 2013

Langkah

Langkah ini mempertemukan kamu dan aku.
Seiring laju langkah, rasa suka itu tumbuh begitu cepat.
Ku hentikan langkah ini dan mencoba tuk bermain-main dengan rasa ini.
Bunga-bunga harapan indah bermekaran di sekitarku.
Terlena hingga terlupa dengan langkah awalku.
Saatnya melangkah kembali dan mencoba mu tuk melangkah bersama.
Nyatanya langkah yang kamu inginkan berbeda dengan jalurku.
Ku palingkan langkahku tuk meninggalkanmu.
Kemana pun kaki ini melangkah tuk pergi.
Dan terlihat seakan-akan bayanganmu tetap mengikuti.
Kamu tetap saja sesekali menyapa walau aku tetap saja cuek.
Memanggilku, menarikku tuk menemanimu bermain.
Tapi aku tak bisa, aku tersiksa.
Aku hanya ingin lepas melangkah.
Maafkan atas diamku.

Sabtu, 14 September 2013

Bom Waktu

Semakin hari semakin besar dan membesar.

Terus terpupuk sedikit demi sedikit bertambah berat.

Laksana seekor semut dengan bola basket di pundaknya.

Semoga saja masih kuat menahannya, memikulnya dan menjaganya untuk tak meledak.

Sendiri menahan hingga tiba seorang ajaib yang ikhlas datang untuk merubahnya.

Merubah sebuah bom waktu raksasa menjadi sebuah bintang berkilau.

Menerangiku dan menghangatkanku.

Di waktu yang tepat sebelum terlambat.

Dan bila bom waktu itu meledak habislah sudah tak tersisa.

Dan semoga apa yang ditakutkan tak akan terjadi.

Jumat, 13 September 2013

Kisah Bermakna 4

Perempuan Yang Dicintai Suamiku

Kehidupan pernikahan kami awalnya
baik2 saja menurutku. Meskipun
menjelang pernikahan selalu terjadi
konflik, tapi setelah menikah Mario
tampak baik dan lebih menuruti apa
mauku.

Kami tidak pernah bertengkar hebat,
kalau marah dia cenderung diam dan
pergi kekantornya bekerja sampai
subuh, baru pulang kerumah, mandi,
kemudian mengantar anak kami
sekolah. Tidurnya sangat sedikit,
makannya pun sedikit. Aku pikir dia
workaholic.

Dia menciumku maksimal 2x sehari,
pagi menjelang kerja, dan saat dia
pulang kerja, itupun kalau aku masih
bangun. Karena waktu pacaran dia
tidak pernah romantis, aku pikir,
memang dia tidak romantis, dan tidak
memerlukan hal2 seperti itu sebagai
ungkapan sayang.

Kami jarang ngobrol sampai malam,
kami jarang pergi nonton berdua,
bahkan makan berdua diluarpun
hampir tidak pernah. Kalau kami makan
di meja makan berdua, kami asyik
sendiri dengan sendok garpu kami,
bukan obrolan yang terdengar, hanya
denting piring yang beradu dengan
sendok garpu.

Kalau hari libur, dia lebih sering hanya
tiduran dikamar, atau main dengan
anak2 kami, dia jarang sekali tertawa
lepas. Karena dia sangat pendiam, aku
menyangka dia memang tidak suka
tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik2
saja selama 8 tahun pernikahan kami.
Sampai suatu ketika, disuatu hari yang
terik, saat itu suamiku tergolek sakit
dirumah sakit, karena jarang makan,
dan sering jajan di kantornya,
dibanding makan dirumah, dia kena
typhoid, dan harus dirawat di RS,
karena sampai terjadi perforasi di
ususnya.. Pada saat dia masih di ICU,
seorang perempuan datang
menjenguknya. Dia memperkenalkan
diri, bernama meisha, temannya Mario
saat dulu kuliah.

Meisha tidak secantik aku, dia begitu
sederhana, tapi aku tidak pernah
melihat mata yang begitu cantik
seperti yang dia miliki. Matanya
bersinar indah, penuh kehangatan dan
penuh cinta, ketika dia berbicara,
seakan2 waktu berhenti berputar dan
terpana dengan kalimat2nya yang
ringan dan penuh pesona. Setiap
orang, laki2 maupun perempuan
bahkan mungkin serangga yang lewat,
akan jatuh cinta begitu mendengar dia
bercerita.

Meisha tidak pernah kenal dekat
dengan Mario selama mereka kuliah
dulu, Meisha bercerita Mario sangat
pendiam, sehingga jarang punya teman
yang akrab. 5 bulan lalu mereka
bertemu, karena ada pekerjaan kantor
mereka yang mempertemukan mereka.
Meisha yang bekerja di advertising
akhirnya bertemu dengan Mario yang
sedang membuat iklan untuk
perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat-ingat 5 bulan
lalu ada perubahan yang cukup drastis
pada Mario , setiap mau pergi kerja,
dia tersenyum manis padaku, dan
dalam sehari bisa menciumku lebih
dari 3x. Dia membelikan aku parfum
baru, dan mulai sering tertawa lepas.
Tapi disaat lain, dia sering termenung
didepan komputernya. Atau termenung
memegang Hp-nya. Kalau aku tanya,
dia bilang, ada pekerjaan yang
membingungkan.

Suatu saat Meisha pernah datang pada
saat Mario sakit dan masih dirawat di
RS. Aku sedang memegang sepiring
nasi beserta lauknya dengan wajah
kesal, karena Mario tidak juga mau aku
suapi. Meisha masuk kamar, dan
menyapa dengan suara riangnya,
"Hai Rima, kenapa dengan anak
sulungmu yang nomor satu ini ? tidak
mau makan juga? uhh… dasar anak
nakal, sini piringnya, " lalu dia terus
mengajak Mario bercerita sambil
menyuapi Mario , tiba2 saja sepiring
nasi itu sudah habis ditangannya.
Dan….aku tidak pernah melihat tatapan
penuh cinta yang terpancar dari mata
suamiku, seperti siang itu, tidak
pernah seumur hidupku yang aku lalui
bersamanya, tidak pernah sedetikpun !
Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari
ketika dia membalikkan tubuhnya
membelakangi aku saat aku
memeluknya dan berharap dia
mencumbuku. Lebih sakit dari rasa
sakit setelah operasi caesar ketika aku
melahirkan anaknya. Lebih sakit dari
rasa sakit, ketika dia tidak mau
memakan masakan yang aku buat
dengan susah payah. Lebih sakit
daripada sakit ketika dia tidak pulang
kerumah saat ulang tahun perka wina
n kami kemarin. Lebih sakit dari rasa
sakit ketika dia lebih suka mencumbu
komputernya dibanding aku.

Tapi aku tidak pernah bisa marah
setiap melihat perempuan itu. Meisha
begitu manis, dia bisa hadir tiba2,
membawakan donat buat anak2, dan
membawakan ekrol kesukaanku. Dia
mengajakku jalan2, kadang
mengajakku nonton. kali lain, dia
datang bersama suami dan ke-2
anaknya yang lucu2.

Aku tidak pernah bertanya, apakah
suamiku mencintai perempuan berhati
bidadari itu? karena tanpa bertanya
pun aku sudah tahu, apa yang
bergejolak dihatinya.

Suatu sore, mendung begitu
menyelimuti jakarta , aku tidak pernah
menyangka, hatikupun akan mendung,
bahkan gerimis kemudian.

Anak sulungku, seorang anak
perempuan cantik berusia 7 tahun,
rambutnya keriting ikal dan cerdasnya
sama seperti ayahnya. Dia berhasil
membuka password email Papa nya,
dan memanggilku, " Mama, mau lihat
surat papa buat tante Meisha ?"
Aku tertegun memandangnya, dan
membaca surat elektronik itu,

= = = = = =
Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang
gemerlap yang mengisi seluruh relung
hatiku, aku tidak pernah merasakan
jatuh cinta seperti ini, bahkan pada
Rima. Aku mencintai Rima karena
kondisi yang mengharuskan aku
mencintainya, karena dia ibu dari
anak2ku.

Ketika aku menikahinya, aku tetap
tidak tahu apakah aku sungguh2
mencintainya. Tidak ada perasaan
bergetar seperti ketika aku
memandangmu, tidak ada perasaan
rindu yang tidak pernah padam ketika
aku tidak menjumpainya. Aku hanya
tidak ingin menyakiti perasaannya.
Ketika konflik2 terjadi saat kami
pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa,
tapi aku tidak sanggup mengatakan
padanya bahwa dia bukanlah
perempuan yang aku cari untuk
mengisi kekosongan hatiku. Hatiku
tetap terasa hampa, meskipun aku
menikahinya.

Aku tidak tahu, bagaimana caranya
menumbuhkan cinta untuknya, seperti
ketika cinta untukmu tumbuh secara
alami, seperti pohon2 beringin yang
tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat
siraman dari pemiliknya. Seperti
pepohonan di hutan2 belantara yang
tidak pernah minta disirami, namun
tumbuh dengan lebat secara alami. Itu
yang aku rasakan.

Aku tidak akan pernah bisa
memilikimu, karena kau sudah menjadi
milik orang lain dan aku adalah laki2
yang sangat memegang komitmen
pernikahan kami. Meskipun hatiku
terasa hampa, itu tidaklah mengapa,
asal aku bisa melihat Rima bahagia
dan tertawa, dia bisa mendapatkan
segala yang dia inginkan selama aku
mampu. Dia boleh mendapatkan
seluruh hartaku dan tubuhku, tapi
tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya
aku berikan untukmu. Meskipun ada
tembok yang menghalangi kita, aku
hanya berharap bahwa engkau
mengerti, you are the only one in my
heart.

yours,
Mario
= = = = = =

Mataku terasa panas. Jelita, anak
sulungku memelukku erat. Meskipun
baru berusia 7 tahun, dia adalah
malaikat jelitaku yang sangat mengerti
dan menyayangiku.

Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia
tidak pernah bahagia bersamaku. Dia
mencintai perempuan lain.

Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak
itu, aku menulis surat hampir setiap
hari untuk suamiku. Surat itu aku
simpan diamplop, dan aku letakkan di
lemari bajuku, tidak pernah aku berikan
untuknya.

Mobil yang dia berikan untukku aku
kembalikan padanya. Aku
mengumpulkan tabunganku yang
kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu
aku belikan motor untuk mengantar
dan menjemput anak2ku. Mario merasa
heran, karena aku tidak pernah lagi
bermanja dan minta dibelikan
bermacam2 merek tas dan baju. Aku
terpuruk dalam kehancuranku. Aku
dulu memintanya menikahiku karena
aku malu terlalu lama pacaran,
sedangkan teman2ku sudah menikah
semua. Ternyata dia memang tidak
pernah menginginkan aku menjadi
istrinya.

Betapa tidak berharganya aku..
Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga
seorang perempuan yang berhak
mendapatkan kasih sayang dari
suaminya ? Kenapa dia tidak
mengatakan saja, bahwa dia tidak
mencintai aku dan tidak menginginkan
aku ? itu lebih aku hargai daripada dia
cuma diam dan mengangguk dan
melamarku lalu menikahiku.. Betapa
malangnya nasibku.

Mario terus menerus sakit2an, dan aku
tetap merawatnya dengan setia.
Biarlah dia mencintai perempuan itu
terus didalam hatinya. Dengan pura2
tidak tahu, aku sudah membuatnya
bahagia dengan mencintai perempuan
itu. Kebahagiaan Mario adalah
kebahagiaanku juga, karena aku akan
selalu mencintainya.

....................
Setahun kemudian
.....................

Meisha membuka amplop surat2 itu
dengan air mata berlinang. Tanah
pemakaman itu masih basah merah
dan masih dipenuhi bunga.
"Mario, suamiku….
Aku tidak pernah menyangka
pertemuan kita saat aku pertama kali
bekerja dikantormu, akan membawaku
pada cinta sejatiku. Aku begitu
terpesona padamu yang pendiam dan
tampak dingin. Betapa senangnya aku
ketika aku tidak bertepuk sebelah
tangan. Aku mencintaimu, dan begitu
posesif ingin memilikimu seutuhnya..
Aku sering marah, ketika kamu asyik
bekerja, dan tidak memperdulikan aku.
Aku merasa diatas angin, ketika kamu
hanya diam dan menuruti
keinginanku… Aku pikir, aku si puteri
cantik yang diinginkan banyak pria,
telah memenuhi ruang hatimu dan
kamu terlalu mencintaiku sehingga
mau melakukan apa saja untukku…..
Ternyata aku keliru…. aku
menyadarinya tepat sehari setelah
pernikahan kita. Ketika aku
membanting hadiah jam tangan dari
seorang teman kantor dulu yang aku
tahu sebenarnya menyukai Mario .
Aku melihat matamu begitu terluka,
ketika berkata, "kenapa, Rima ? Kenapa
kamu mesti cemburu ? dia sudah
menikah, dan aku sudah memilihmu
menjadi istriku ?"

Aku tidak perduli,dan berlalu dari
hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu
melamarku. Engkau tidak pernah
bahagia bersamaku. Aku adalah hal
terburuk dalam kehidupan cintamu.
Aku bukanlah wanita yang sempurna
yang engkau inginkan.

Istrimu,
Rima"

Di surat yang lain,
"………Kehadiran perempuan itu
membuatmu berubah, engkau tidak lagi
sedingin es. Engkau mulai terasa
hangat, namun tetap saja aku tidak
pernah melihat cahaya cinta dari
matamu untukku, seperti aku melihat
cahaya yang penuh cinta itu berpendar
dari kedua bola matamu saat
memandang Meisha……"

Disurat yang kesekian,
"…….Aku bersumpah, akan membuatmu
jatuh cinta padaku.
Aku telah berubah, Mario . Engkau lihat
kan, aku tidak lagi marah2 padamu,
aku tidak lagi suka membanting2
barang dan berteriak jika emosi. Aku
belajar masak, dan selalu kubuatkan
masakan yang engkau sukai. Aku tidak
lagi boros, dan selalau menabung. Aku
tidak lagi suka bertengkar dengan
ibumu. Aku selalu tersenyum
menyambutmu pulang kerumah. Dan
aku selalu meneleponmu, untuk
menanyakan sudahkah kekasih hatiku
makan siang ini? Aku merawatmu jika
engkau sakit, aku tidak kesal saat
engkau tidak mau aku suapi, aku
menungguimu sampai tertidur
disamping tempat tidurmu, dirumah
sakit saat engkau dirawat, karena
penyakit pencernaanmu yang selalu
bermasalah…….
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta
itu dari matamu, aku akan tetap
berusaha dan menantinya…….."
Meisha menghapus air mata yang terus
mengalir dari kedua mata indahnya…
dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu
disampingnya.

Disurat terakhir, pagi ini…
"…………..Hari ini adalah hari ulang tahun
pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu
engkau tidak pulang kerumah, tapi
tahun ini aku akan memaksamu
pulang, karena hari ini aku akan
masak, masakan yang paling enak
sedunia. Kemarin aku belajar
membuatnya dirumah Bude Tati,
sampai kehujanan dan basah kuyup,
karena waktu pulang hujannya deras
sekali, dan aku hanya mengendarai
motor.

Saat aku tiba dirumah kemarin malam,
aku melihat sinar kekhawatiran
dimatamu. Engkau memelukku, dan
menyuruhku segera ganti baju supaya
tidak sakit.

Tahukah engkau suamiku,
Selama hampir 15 tahun aku
mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan
hampir 9 tahun kita menikah, baru kali
ini aku melihat sinar kekhawatiran itu
dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai
bersemi dihatimu ?………"

Jelita menatap Meisha, dan bercerita,
"Siang itu Mama menjemputku dengan
motornya, dari jauh aku melihat
keceriaan diwajah mama, dia terus
melambai-lambaikan tangannya
kepadaku. Aku tidak pernah melihat
wajah yang sangat bersinar dari mama
seperti siang itu, dia begitu cantik.
Meskipun dulu sering marah2
kepadaku, tapi aku selalu
menyayanginya. Mama memarkir
motornya diseberang jalan, Ketika
mama menyeberang jalan, tiba2 mobil
itu lewat dari tikungan dengan
kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup
melihatnya terlontar, Tante….. aku
melihatnya masih memandangku
sebelum dia tidak lagi bergerak……"
Jelita memeluk Meisha dan terisak-
isak. Bocah cantik ini masih terlalu
kecil untuk merasakan sakit di hatinya,
tapi dia sangat dewasa.

Meisha mengeluarkan selembar kertas
yang dia print tadi pagi. Mario
mengirimkan email lagi kemarin
malam, dan tadinya aku ingin Rima
membacanya.

Dear Meisha,
Selama setahun ini aku mulai
merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi
marah2 dan selalu berusaha
menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia
pulang dengan tubuh basah kuyup
karena kehujanan, aku sangat khawatir
dan memeluknya. Tiba2 aku baru
menyadari betapa beruntungnya aku
memiliki dia. Hatiku mulai bergetar….
Inikah tanda2 aku mulai
mencintainya ?

Aku terus berusaha mencintainya
seperti yang engkau sarankan, Meisha.
Dan besok aku akan memberikan
surprise untuknya, aku akan
membelikan mobil mungil untuknya,
supaya dia tidak lagi naik motor
kemana-mana. Bukan karena dia ibu
dari anak2ku, tapi karena dia belahan
jiwaku….

Meisha menatap Mario yang tampak
semakin ringkih, yang masih terduduk
disamping nisan Rima. Diwajahnya
tampak duka yang dalam. Semuanya
telah terjadi, Mario .

'Kadang kita baru menyadari mencintai
seseorang, ketika seseorang itu telah
pergi meninggalkan kita..'

(copas)

Minggu, 08 September 2013

Sok

Bila diri ini tak seperti yang kamu kira, itu karena memang;
Sebenarnya lemah namun sok kuat.
Rapuh mentalnya namun sok tegar.
Sebenarnya bodoh namun sok pintar.
Tidak tahu apa-apa namun sok tahu.
Sebenarnya penakut namun sok berani.
Masih seperti bocah namun sok dewasa.
Sebenarnya jahat namun sok baik.
Sok bijaksana dan sok-sok yang lain.

Sok membanggakan diri tapi tak ada yang bisa dibanggakan. Hanya sok-sokan saja. Sok-sokan di masa muda yang menggelikan.

Rabu, 04 September 2013

Bahasa Indonesia Tanpa Huruf A & E

Menulis bahasa indonesia tanpa huruf A dan E.

Aturan main:

*Menulis tanpa huruf a dan e.
*Kata yang hanya terdiri dari 3 huruf
saja wajib ditulis lengkap, dan tetap
menggunakan huruf a dan e.
*Penulisan sebuah nama juga lengkap,
dan menggunakan huruf a dan e.
*Huruf a dan e juga ditulis pada dua
huruf vokal yang bergandengan.

Contoh:

Suatu hari ada seorang murid yang
bernama Deden, dia sedang bingung
karena di beri tugas oleh gurunya
untuk membuat karangan bebas tentang apa yang dilakukannya dihari minggu. Tiba-tiba datang seorang temannya yang bernama joni.

Karangan diatas akan menjadi seperti di bawah ini:

Suatu hri ada seorng murid yng brnm
Deden, dia sdng bingung krn di bri tugs olh guruny untuk mmbuat krngn bbs tntng apa yng dilkuknny dihri minggu. Tib-tib dtng seorng tmnny yng brnm joni.
,
Bisa lebih irit hampir 2 baris^^.

Selasa, 03 September 2013

Kisah Bermakna 3

Kisah Mengharukan Anak Yang
Mencoret Mobil Ayahnya

Sepasang suami isteri – seperti
pasangan lain di kota-kota besar
meninggalkan anak-anak diasuh
pembantu rumah sewaktu bekerja.
Anak tunggal pasangan ini, perempuan
cantik berusia tiga setengah tahun.
Sendirian ia di rumah dan kerap kali
dibiarkan pembantunya karena sibuk
bekerja di dapur. Bermainlah dia
bersama ayun-ayunan di atas buaian
yang dibeli ayahnya, ataupun memetik
bunga dan lain-lain di halaman
rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku
karat. Dan ia pun mencoret lantai
tempat mobil ayahnya diparkirkan ,
tetapi karena lantainya terbuat dari
marmer maka coretan tidak kelihatan.
Dicobanya lagi pada mobil baru
ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna
gelap, maka coretannya tampak jelas.
Apalagi anak-anak ini pun membuat
coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke
tempat kerja karena ingin menghindari
macet. Setelah sebelah kanan mobil
sudah penuh coretan maka ia beralih
ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya
gambar ibu dan ayahnya, gambarnya
sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain
sebagainya mengikut imaginasinya.
Kejadian itu berlangsung tanpa
disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah
pasangan suami istri itu melihat mobil
yang baru setahun dibeli dengan
bayaran angsuran yang masih lama
lunasnya. Si bapak yang belum lagi
masuk ke rumah ini pun terus menjerit,
“Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu
rumah yang tersentak engan jeritan itu
berlari keluar. Dia juga beristighfar.
Mukanya merah adam ketakutan lebih-
lebih melihat wajah bengis tuannya.
Sekali lagi diajukan pertanyaan keras
kepadanya, dia terus mengatakan ‘
Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah
sepanjang hari, apa saja yg kau
lakukan?” hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara
ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia
berkata “Dita yg membuat gambar itu
ayahhh.. cantik …kan!” katanya sambil
memeluk ayahnya sambil bermanja
seperti biasa.. Si ayah yang sudah
hilang kesabaran mengambil sebatang
ranting kecil dari pohon di depan
rumahnya, terus dipukulkannya
berkali-kali ke telapak tangan
anaknya . Si anak yang tak mengerti
apa apa menagis kesakitan, pedih
sekaligus ketakutan. Puas memukul
telapak tangan, si ayah memukul pula
belakang tangan anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan
saja, seolah merestui dan merasa puas
dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tidak
tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup
lama memukul-mukul tangan kanan
dan kemudian ganti tangan kiri
anaknya. Setelah si ayah masuk ke
rumah diikuti si ibu, pembantu rumah
tersebut menggendong anak kecil itu,
membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan
dan belakang tangan si anak kecil
luka-luka dan berdarah. Pembantu
rumah memandikan anak kecil itu.
Sambil menyiramnya dengan air, dia
ikut menangis. Anak kecil itu juga
menjerit-jerit menahan pedih saat
luka-lukanya itu terkena air. Lalu si
pembantu rumah menidurkan anak
kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan
anak itu tidur bersama pembantu
rumah. Keesokkan harinya, kedua
belah tangan si anak bengkak.
Pembantu rumah mengadu ke
majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab
bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak
memperhatikan anak kecil itu yang
menghabiskan waktu di kamar
pembantu. Si ayah konon mau memberi
pelajaran pada anaknya. Tiga hari
berlalu, si ayah tidak pernah
menjenguk anaknya sementara si ibu
juga begitu, meski setiap hari bertanya
kepada pembantu rumah. “Dita demam,
Bu”…jawab pembantunya ringkas.
“Kasih minum panadol aja ,” jawab si
ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur
dia menjenguk kamar pembantunya.
Saat dilihat anaknya Dita dalam
pelukan pembantu rumah, dia menutup
lagi pintu kamar pembantunya.

Masuk hari keempat, pembantu rumah
memberitahukan tuannya bahwa suhu
badan Dita terlalu panas. “Sore nanti
kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah
siap” kata majikannya itu. Sampai
saatnya si anak yang sudah lemah
dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan
agar ia dibawa ke rumah sakit karena
keadaannya susah serius. Setelah
beberapa hari di rawat inap dokter
memanggil bapak dan ibu anak itu.
“Tidak ada pilihan..” kata dokter
tersebut yang mengusulkan agar kedua
tangan anak itu dipotong karena
sakitnya sudah terlalu parah dan
infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi
menyelamatkan nyawanya maka kedua
tangannya harus dipotong dari siku ke
bawah” kata dokter itu. Si bapak dan
ibu bagaikan terkena halilintar
mendengar kata-kata itu. Terasa dunia
berhenti berputar, tapi apa yg dapat
dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak.
Dengan berat hati dan lelehan air mata
isterinya, si ayah bergetar tangannya
menandatangani surat persetujuan
pembedahan. Keluar dari ruang bedah,
selepas obat bius yang disuntikkan
habis, si anak menangis kesakitan. Dia
juga keheranan melihat kedua
tangannya berbalut kasa putih.
Ditatapnya muka ayah dan ibunya.
Kemudian ke wajah pembantu rumah.
Dia mengerutkan dahi melihat mereka
semua menangis. Dalam siksaan
menahan sakit, si anak bersuara dalam
linangan air mata. “Ayah.. ibu… Dita
tidak akan melakukannya lagi…. Dita
tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau
jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang
ibu.”, katanya berulang kali
membuatkan si ibu gagal menahan
rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok
Narti..” katanya memandang wajah
pembantu rumah, sekaligus membuat
wanita itu meraung histeris.
“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk
apa diambil.. Dita janji tidak akan
mengulanginya lagi! Bagaimana
caranya Dita mau makan nanti ?…
Bagaimana Dita mau bermain nanti ?…
Dita janji tidak akan mencoret-coret
mobil lagi, ” katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar
kata-kata anaknya. Meraung-raung dia
sekuat hati namun takdir yang sudah
terjadi tiada manusia dapat
menahannya. Nasi sudah jadi bubur.

Pada akhirnya si anak cantik itu
meneruskan hidupnya tanpa kedua
tangan dan ia masih belum mengerti
mengapa tangannya tetap harus
dipotong meski sudah minta maaf…
Tahun demi tahun kedua orang tua
tersebut menahan kepedihan dan
kehancuran bathin sampai suatu saat
Sang Ayah tak kuat lagi menahan
kepedihannya dan wafat diiringi tangis
penyesalannya yg tak bertepi…,
Namun…., si Anak dengan segala
keterbatasan dan kekurangannya
tersebut tetap hidup tegar bahkan
sangat sayang dan selalu merindukan
ayahnya..

(copas)

Senin, 02 September 2013

Kisah Bermakna 2

IBU YANG DI BUANG DI HUTAN

Konon di jepang dulu pernah ada
tradisi membuang orang yang sudah
tua ke hutan. Mereka yang di buang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya, sehingga tidak memberatkan
kehidupan anak-anaknya.

Pada suatu hari, ada seorang pemuda
yang berniat membuang ibunya ke
hutan, karena si ibu telah lumpuh dan
agak pikun. Si pemuda tampak
bergegas menyusuri hutan sambil
menggendong ibunya. Si ibu yang
kelihatan tidak berdaya berusaha
menggapai ranting pohon yang bisa
diraihnya, lalu mematahkannya dan
menaburkannya disepanjang jalan
yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat
lebat, si anak menurunkan ibu tersebut
dan mengucapkan kata perpisahan
sambil berusaha menahan sedih karena
ternyata dia tidak menyangka tega
melakukan perbuatan ini terhadap
ibunya.

Justru si Ibu sangat tegar, dalam
senyumnya ia berkata “Anak ku, ibu
sangat menyayangimu. Sejak kau kecil
sampai dawasa. Ibu selalu merawatmu
dengan segenap cintaku. Bahkan
sampai hari ini, rasa sayangku tidak
berkurang sedikit pun, tadi ibu sudah
menandai sepanjang jalan yang kita
lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu
takut kau tersesat, ikutilah tanda itu
agar kau selamat sampai dirumah.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut,
si anak menangis dengan sangat
keras, kemudian langsung memeluk
ibunya dan kembali menggendongnya
untuk membawa ibu pulang kerumah.
Pemuda tersebut akhirnya merawat ibu
yang sangat mengasihinya sampai
ibunya meninggal.

Sahabatku,
Apa hikmah yang terkandung dala
kisah diatas…?
Orang tua bukan barang rongsokan
yang bisa dibuang atau diabaikan
setelah terlihat tidak berdaya. Karena
pada saat engkau menggapai sukses
atau saat engkau dalam keadaan
susah, hanya orang tua yang mengerti
kita dan batinnya akan menderita kalau
kita susah.

Bukan istri, suami, ataupun teman.
Orang tua kita tidak pernah
meninggalkan kita, bagaimanapun
keadaan kita, walaupun kita pernah
kurang ajar kepada orang tua, namun
bapak dan ibu kita akan tetap
mengasihi kita.

Mulai sekarang mari kita mengasihi
orang tua kita selagi mereka masih
hidup.

Kiranya cerita diatas bisa membuka
mata hati kita, untuk bisa mencintai
orang tua. Mereka justru butuh
perhatian lebih dari kita, disaat mereka
menunggu waktu dipanggil Tuhan
yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan
mereka pada waktu mereka muda,
membesarkan kita dengan penuh kasih
sayang, membekali kita hingga
menjadi seperti sekarang ini.

(copas)

Kisah Bermakna 1

Aku Terpaksa Menikahinya.
(Kisah inspiratif untuk para istri dan
suami)

Bismillahir-Rah maanir-Rahim.
Semoga kisah di bawah ini membuat
kita belajar bersyukur untuk apa yang
kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu
kubi...sikkan dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak pernah
benar-benar menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena paksaan
orangtua, membuatku membenci
suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak
pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari
aku melayaninya sebagaimana tugas
istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya tapi aku
tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
sangat menyayangi suamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal
sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa. Aku
tak pernah benar-benar menjalani
tugasku sebagai seorang istri. Aku
selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga tugasnyalah
membuatku bahagia dengan menuruti
semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak
ada seorangpun yang berani melawan.
Jika ada sedikit saja masalah, aku
selalu menyalahkan suamiku. Aku tak
suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal
melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan
meninggalkan bekas lengket, aku
benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia
menggantung bajunya di kapstock
bajuku, aku juga marah kalau ia
memakai pasta gigi tanpa
memencetnya dengan rapi, aku marah
kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senan g dengan teman-
temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku
tak mau mengurus anak. Awalnya dia
mendukung dan akupun ber-KB
dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu
dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari
empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya .

Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika
aku mengandung sepasang anak
kembar dan harus mengalami kelahiran
yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar
aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena
aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak
terasa berulang tahun yang ke-
delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti
biasa, dialah yang menyediakan
sarapan pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku
hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,
karena merasa terjebak dengan
perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-
anak. Tetapi hari itu, ia juga
memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku
berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali
di depan pintu, seakan-akan berat
untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun
memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon adalah
hobiku. Aku tiba di salon langgananku
beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk
saling memamerkan kegiatan kami.
Tiba waktunya aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa
terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga
bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku
dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta
uang jajan dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari dompetmu.
Aku lupa menaruhnya kembali ke
tasmu, kalau tidak salah aku letakkan
di atas meja kerjaku.” Katanya
menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak lama
kemudian, handphoneku kembali
berbunyi dan meski masih kesal,
akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku
akan ambil dompet dan mengantarnya
padamu. Sayang sekarang ada
dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir
aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi, aku
kembali menutup telepon. Aku
berbicara dengan kasir dan
mengatakan bahwa suamiku akan
datang membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah membolehkanku
pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku
juga ikut mendengarku ketinggalan
dompet membuatku gengsi untuk
berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar
dan berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar sehingga mulai
menghubungi handphone suamiku. Tak
ada jawaban meskipun sudah berkali-
kali kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering teleponku
sudah diangkatnya. Aku mulai merasa
tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa
kali mencoba. Ketika suara bentakanku
belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku
terdiam beberapa saat sebelum suara
lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri
dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam
dan hanya menjawab terima kasih.
Ketika telepon ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang
kupegang dan beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap bertanya
ada apa hingga wajahku menjadi pucat
seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai
di rumah sakit. Entah bagaimana juga
tahu-tahu seluruh keluarga hadir di
sana menyusulku. Aku yang hanya
diam seribu bahasa menunggu
suamiku di depan ruang gawat darurat.
Aku tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika
akhirnya setelah menunggu beberapa
jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter
keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan
karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah
sibuk menguatkan kedua orangtuaku
dan orangtuanya yang shock. Sama
sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan mertuaku.
Anak-anak yang terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka
sama sekali tak mampu membuatku
menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan
aku duduk di hadapannya, aku
termangu menatap wajah itu. Kusadari
baru kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat
apa yang telah ia berikan padaku
selama sepuluh tahun kebersamaan
kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan kusadari inilah
kali pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan pandanganku.
Aku terkesiap berusaha mengusap
agar airmata tak menghalangi tatapan
terakhirku padanya, aku ingin
mengingat semua bagian wajahnya
agar kenangan manis tentang suamiku
tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang
mengatur prosesi pemakaman tidak
mampu membuatku berhenti menangis.
Aku berusaha menahannya, tapi
dadaku sesak mengingat apa yang
telah kuperbuat padanya terakhir kali
kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku
hampir tak pernah mengatur makannya.
Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin
dan obat yang harus kukonsumsi
terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah
absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau
aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan karena
aku tak pernah bertanya. Bahkan aku
tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia
mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah
memasak untuknya. Aku hanya
memasak untuk anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia sudah
makan atau belum ketika pulang kerja.
Ia bisa makan masakanku hanya kalau
bersisa. Iapun pulang larut malam
setiap hari karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke kantornya karena
tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal
teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
melihat tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku terbangun
dengan rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan
seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-
hari awal kepergiannya, aku duduk
termangu memandangi piring kosong.
Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku yang datang,
aku berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan
sesuatu di rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun
dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali.
Dulu aku kesal karena ia sering
berantakan di kamar tidur kami, tetapi
kini aku merasa kamar tidur kami
terasa kosong dan hampa. Dulu aku
begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out, sekarang
aku memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih tertinggal di sana. Dulu
aku paling tidak suka ia membuat kopi
tanpa alas piring di meja, sekarang
bekasnya yang tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap
bisa mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan
itu kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku dan
aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri,
aku marah karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak ada.
Aku marah karena baju-bajunya masih
di sana meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah karena
tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak
ada lagi yang membujukku agar
tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat
karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena
menyia-nyiakan suami yang
dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak
baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu
menghapus dukaku sedikit demi
sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak
perhatian dari keluarga untukku dan
anak-anak. Teman-temanku yang
selama ini kubela-belain, hampir tak
pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan. Ada dua
anak yang menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan hanya
jumlah rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai untuk
keperluan pribadi dan setiap bulan
uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika
melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya
ditransfer ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah sedikitpun
menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia memperoleh
uang lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga karena aku tak pernah
bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
tahu sekarang aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja
di mana? Aku hampir tak pernah punya
pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa
waktu kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia membawa
banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, ia menyertai
ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu
terlebih dahulu, sayang. maaf karena
harus membuatmu bertanggung jawab
mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta
dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat
karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi sayang selamanya.
Tetapi aku tak mau kalian kehilangan
kasih sayangku begitu saja. Selama ini
aku telah menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan kalian nanti.
Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-
anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang
manja. Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang
percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau
lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang lebih baik
dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku.
Maafkan karena ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah istri yang
baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria
pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah.
Jangan jadi anak yang bandel lagi dan
selalu ingat dimanapun kalian berada,
ayah akan disana melihatnya. Oke,
Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas suamiku
kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi
dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku
membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha
tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu mengetahui betapa
besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap
membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah
lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak
mampu menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku.
Hari demi hari hanya kuabdikan untuk
anak-anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya ,
tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku
pergi.

Kini kedua putra putriku berusia
duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
putriku menikahi seorang pemuda dari
tanah seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana nanti
setelah menjadi istri, soalnya Farah
kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata
“Cinta sayang, cintailah suamimu,
cintailah pilihan hatimu, cintailah apa
yang ia miliki dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena cinta,
kau akan belajar menyenangkan
hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa
sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikanny a atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu
untuk ayah? Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah
sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah
mencintai kalian berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak
sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa
hidupku untuk mencintainya. Aku
bebas darinya karena kematian, tapi
aku tak pernah bisa bebas dari
cintanya yang begitu tulus.

Wallahu’alam bishshawab.

(copas)