Senin, 02 September 2013

Kisah Bermakna 1

Aku Terpaksa Menikahinya.
(Kisah inspiratif untuk para istri dan
suami)

Bismillahir-Rah maanir-Rahim.
Semoga kisah di bawah ini membuat
kita belajar bersyukur untuk apa yang
kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu
kubi...sikkan dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak pernah
benar-benar menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena paksaan
orangtua, membuatku membenci
suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak
pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari
aku melayaninya sebagaimana tugas
istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya tapi aku
tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
sangat menyayangi suamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal
sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa. Aku
tak pernah benar-benar menjalani
tugasku sebagai seorang istri. Aku
selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga tugasnyalah
membuatku bahagia dengan menuruti
semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak
ada seorangpun yang berani melawan.
Jika ada sedikit saja masalah, aku
selalu menyalahkan suamiku. Aku tak
suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal
melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan
meninggalkan bekas lengket, aku
benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia
menggantung bajunya di kapstock
bajuku, aku juga marah kalau ia
memakai pasta gigi tanpa
memencetnya dengan rapi, aku marah
kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senan g dengan teman-
temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku
tak mau mengurus anak. Awalnya dia
mendukung dan akupun ber-KB
dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu
dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari
empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya .

Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika
aku mengandung sepasang anak
kembar dan harus mengalami kelahiran
yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar
aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena
aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak
terasa berulang tahun yang ke-
delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti
biasa, dialah yang menyediakan
sarapan pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku
hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,
karena merasa terjebak dengan
perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-
anak. Tetapi hari itu, ia juga
memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku
berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali
di depan pintu, seakan-akan berat
untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun
memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon adalah
hobiku. Aku tiba di salon langgananku
beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk
saling memamerkan kegiatan kami.
Tiba waktunya aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa
terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga
bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku
dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta
uang jajan dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari dompetmu.
Aku lupa menaruhnya kembali ke
tasmu, kalau tidak salah aku letakkan
di atas meja kerjaku.” Katanya
menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak lama
kemudian, handphoneku kembali
berbunyi dan meski masih kesal,
akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku
akan ambil dompet dan mengantarnya
padamu. Sayang sekarang ada
dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir
aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi, aku
kembali menutup telepon. Aku
berbicara dengan kasir dan
mengatakan bahwa suamiku akan
datang membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah membolehkanku
pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku
juga ikut mendengarku ketinggalan
dompet membuatku gengsi untuk
berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar
dan berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar sehingga mulai
menghubungi handphone suamiku. Tak
ada jawaban meskipun sudah berkali-
kali kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering teleponku
sudah diangkatnya. Aku mulai merasa
tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa
kali mencoba. Ketika suara bentakanku
belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku
terdiam beberapa saat sebelum suara
lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri
dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam
dan hanya menjawab terima kasih.
Ketika telepon ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang
kupegang dan beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap bertanya
ada apa hingga wajahku menjadi pucat
seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai
di rumah sakit. Entah bagaimana juga
tahu-tahu seluruh keluarga hadir di
sana menyusulku. Aku yang hanya
diam seribu bahasa menunggu
suamiku di depan ruang gawat darurat.
Aku tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika
akhirnya setelah menunggu beberapa
jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter
keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan
karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah
sibuk menguatkan kedua orangtuaku
dan orangtuanya yang shock. Sama
sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan mertuaku.
Anak-anak yang terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka
sama sekali tak mampu membuatku
menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan
aku duduk di hadapannya, aku
termangu menatap wajah itu. Kusadari
baru kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat
apa yang telah ia berikan padaku
selama sepuluh tahun kebersamaan
kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan kusadari inilah
kali pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan pandanganku.
Aku terkesiap berusaha mengusap
agar airmata tak menghalangi tatapan
terakhirku padanya, aku ingin
mengingat semua bagian wajahnya
agar kenangan manis tentang suamiku
tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang
mengatur prosesi pemakaman tidak
mampu membuatku berhenti menangis.
Aku berusaha menahannya, tapi
dadaku sesak mengingat apa yang
telah kuperbuat padanya terakhir kali
kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku
hampir tak pernah mengatur makannya.
Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin
dan obat yang harus kukonsumsi
terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah
absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau
aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan karena
aku tak pernah bertanya. Bahkan aku
tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia
mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah
memasak untuknya. Aku hanya
memasak untuk anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia sudah
makan atau belum ketika pulang kerja.
Ia bisa makan masakanku hanya kalau
bersisa. Iapun pulang larut malam
setiap hari karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke kantornya karena
tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal
teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
melihat tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku terbangun
dengan rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan
seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-
hari awal kepergiannya, aku duduk
termangu memandangi piring kosong.
Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku yang datang,
aku berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan
sesuatu di rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun
dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali.
Dulu aku kesal karena ia sering
berantakan di kamar tidur kami, tetapi
kini aku merasa kamar tidur kami
terasa kosong dan hampa. Dulu aku
begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out, sekarang
aku memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih tertinggal di sana. Dulu
aku paling tidak suka ia membuat kopi
tanpa alas piring di meja, sekarang
bekasnya yang tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap
bisa mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan
itu kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku dan
aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri,
aku marah karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak ada.
Aku marah karena baju-bajunya masih
di sana meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah karena
tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak
ada lagi yang membujukku agar
tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat
karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena
menyia-nyiakan suami yang
dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak
baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu
menghapus dukaku sedikit demi
sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak
perhatian dari keluarga untukku dan
anak-anak. Teman-temanku yang
selama ini kubela-belain, hampir tak
pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan. Ada dua
anak yang menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan hanya
jumlah rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai untuk
keperluan pribadi dan setiap bulan
uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika
melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya
ditransfer ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah sedikitpun
menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia memperoleh
uang lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga karena aku tak pernah
bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
tahu sekarang aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja
di mana? Aku hampir tak pernah punya
pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa
waktu kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia membawa
banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, ia menyertai
ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu
terlebih dahulu, sayang. maaf karena
harus membuatmu bertanggung jawab
mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta
dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat
karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi sayang selamanya.
Tetapi aku tak mau kalian kehilangan
kasih sayangku begitu saja. Selama ini
aku telah menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan kalian nanti.
Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-
anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang
manja. Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang
percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau
lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang lebih baik
dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku.
Maafkan karena ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah istri yang
baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria
pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah.
Jangan jadi anak yang bandel lagi dan
selalu ingat dimanapun kalian berada,
ayah akan disana melihatnya. Oke,
Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas suamiku
kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi
dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku
membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha
tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu mengetahui betapa
besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap
membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah
lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak
mampu menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku.
Hari demi hari hanya kuabdikan untuk
anak-anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya ,
tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku
pergi.

Kini kedua putra putriku berusia
duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
putriku menikahi seorang pemuda dari
tanah seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana nanti
setelah menjadi istri, soalnya Farah
kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata
“Cinta sayang, cintailah suamimu,
cintailah pilihan hatimu, cintailah apa
yang ia miliki dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena cinta,
kau akan belajar menyenangkan
hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa
sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikanny a atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu
untuk ayah? Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah
sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah
mencintai kalian berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak
sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa
hidupku untuk mencintainya. Aku
bebas darinya karena kematian, tapi
aku tak pernah bisa bebas dari
cintanya yang begitu tulus.

Wallahu’alam bishshawab.

(copas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar